Rabu, 25 Juni 2014

TRANSFORMASI WAYANG WONG SRIWEDARI


Pertunjukan Wayang Wong Sriwedari
  
Di Bawah Keraton Kasunanan Surakarta (1901-1946)
Wayang wong Sriwedari adalh seuah kelembagaan kesenian komersil milik Keraton Kasunanan Surakarta yang dimulai sekitar tahun 1901 untuk melengkapi fasilitas hiburan yang ada di tama Sriwedari atau ‘bon rojo (kebon raja). Taman Sriwedari dibangun oleh R.A.A. Sasdiningrat (pepatih dalem) atas perintah Sri Susuhunan Paku Buwana X. Taman ini memiliki fungsi sebagai penyangga kehidupan seni budaya keraton yang didesai selaras dengan konsep paru-paru kota.
Menurut Pak Sulistiyanto, selaku sutradara wayang wong Sriwedari, wayang wong mulai melakukan pentas secara tetap di Kebon Raja Sriwedari pada tahun 1911. Namun menurut Tohiran, abdi dalem yang menjadi narasumber dalam buku Hersapadi yang berjudul Wayang Wong Sriwedari, wayang wong Sriwedari diperkirakan mulai pentas sekitar tahun 1912 atas perkenan Sunan Paku Buwana X. adapun yang beranggapan bahwa wayang wong Sriwedari sudah mulai  pentas pada tahun 1910 dikarenakan R.M Suraya yang lahir pada tahun 1901 pada usia Sembilan tahun sudah menjadi penari di grup wayang orang yang saat itu bernama Persatuan Wayang Wong Sriwedari.
Perbedaan sumber tersebut dikarenakan tidak ditemukannya data tertulis yang memiliki kreadibilitas sumber. Namun pendapat terakhir yang mengatakan Wayang Wong Sriwedari mulai pentas pada tahun 1910 tampaknya mendekati dalam hubungannya dengan nama embrio lembaga kesenian itu yaitu Persatuan Wayang Wong Sriwedari. Seperti dikemukakan oleh R.M. Sayid bahwa sebelum Wayang Wong Sriwedari, pertunjukan wayang wong panggung professional bergantian dari beberapa grup wayang wong milik Lie Wat Giem, Sastratenoyo, dan lain-lainnya. Diperkirakan Wayang Wong Sriwedari dibentuk dengan dukungan beberapa anggota wayang wong panggung yang lebih dulu ada dan memiliki pengalaman pentas keliling kota-kota besar.
Dalam kedudukannya sebagai organisasi kesenian, pada waktu itu dikenal dengan nama Persatuan Wayang Wong Sriwedari yang diasuh oleh seorang yang berkebangsaan Belanda yaitu Rademaker dan yang menjadi ketua bagian kesenian ialah R.M. Sastratanaya. Pengelola Persatuan Wayang Wong Sriwedari itu ditangani oleh abdi dalem Kepatihan, oleh karena itu pengangkatan para pemain wayang wong harus mendapat persetujuan dari pihak Kepatihan.
Daya tarik seni panggung komersial salah satunya ialah kehadiran bintang panggung. Oleh karena sering terdengar keluhan para penonton apabila bintang pujaannya tidak dapat main karena sesuatu hal. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam promosi pertunjukan sering kali dipublikasikan nama-nama tokoh pujaan publik. Dari segi tata teknik pentas tampak berkembang secar evolusi yaitu dari bentuk yang sederhana sampai pada bentuk yang lebih sempurna. Sebelum dibangun panggung prosenium secara permanen, Wyang Wong Sriwedari dipergelarkan secara sederhan di panggung terbuka, penonton melihat dari berbagai arah secar berdiri dan karcis tanda masuk dibeli apabila masuk ke taman Sriwedari.
Menurut R.T. Kusumakesawa, dalam pertunjukan wayang wong unsure tari tidak diutamakan. Dengan menguasai lima buah gerakan tari, yaitu sembahan, sabetan, lumaksana, ombak banyu dan srisig sudah dianggap cukup untuk menjadi pemain wayang wong. Dalam pertunjukan wayang wong unsure dialog lebih diutamakan, baik prosa maupun tembang. Untuk dapat menjiwai perwatakan tari dalam wayang wong pihak pengelola melakukan kegiatan untuk meningkatkan kualitas para pemain. Kegiatan yang dimaksud ialah berupa latian tari, udanegara, antawecana, uran-uran (tembang), rias dan busana, dan karawitan.
Hal yang unik dari pertunjukan Wayang Wong Sriwedari adalah sebuah menara sirine di bagian belakang gedung pertunjukan. Pada zamannya, sirine ini berfungsi sebagai tanda bahwa Wayang Wong Sriwedari akan main atau tidak. Apabila sirine berbunyi satu kali berarti Wayang Wong Sriwedari akan main, tetapi apabila sirine berbunyi dua kali adalah tanda bahwa Wayang Wong Sriwedari tidak main.
Konflik bersenjata di zaman perang berpengaruh juga dalam kehidupan Wayang Wong Sriwedari. Apabila pada sore hari ada bunyi sirine sebagai isyarat jmalam kota Surakarta, maka penduduk kota tidak berani keluar rumah dan ini berarti pertunjukan Wayang Wong Sriwedari tidak pentas. Pernah pada zaman penjajahan Jepang ketika Wayang Wong Sriwedari sedang main tiba-tiba ada tanda bahaya dan lampu-lampu  dipadamkan, semua pemain dan penonton  tetap berada di tempat. Apabila padamnya lampu terlalu lama, maka pertunjukan dibatalkan. Pertunjukan akan dilanjutkan apabila dipandang aman dan lampu-lampu kota dihidupkan kembali dalam waktu relative singkat.
Pada zaman pemerintahan kolonial Jepang pertunjukan Wayang Wong Sriwedari diawasi secara ketat. Pertunjukan hanya diijinkan sampai pukul 23.00 dan disertai sensor scenario serta synopsis. Bapak Tohiran adalah salah satu petugas tata usaha taman Sriwedari yang ditugaskan untuk menggandakan synopsis dengan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang.
Koleksi atribut pentas
Revolusi kemerdekaan Indonesia membawa dampak terhadap berbagai perubahan politik, sosial, ekonomi, dan psikologis. Dr.Muwardi dari kaum radikal Surakarta bersama-sama dengan kelompok Barisan Banteng pad abulan Januari menculik Paku Buwana XII. Atas desakan Soedirman dan kaum radikal, hak-hak istimewa para raja Surakarta di luar tembok istana secara resmi dihapus oleh pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 1 Juni 1946. Dengan demikian semua kekayaan keraton di luar tembok istana secara otomatis di bawah penguasaan pemerintah Republik Indonesia, termasuk taman hiburan Sriwedari beserta seluruh isisnya, yang selanjutnya dikelola oleh Pemerintah Daerah Kotamadya Surakarta.
(Hersapandi, 1999: 77-98)
Flore, turis asal Swiss

Di Bawah Pemerintah Kotamadya Surakarta (1946-Sekarang)
Adanya perubahan sistem pemerintahan dari penguasaan keraton ke penguasaan republik membawa konsekuensi terhadap keberadaan Wayang Wong Sriwedari dan para anak wayang. Hal ini disadari bahwa Wayang Wong Sriwedari sebgai suatu bentuk organisasi sosial, sudah tentu keberadaanya terpengaruh oleh berbagai aspek kehidupan.
Dalam penguasaan Pemerintah Daerah Kotamadya Surakarta, taman Sriwedari tetap difungsikan seperti semula hanya saja status abdi dalem sebagai pegawai keraton dialihfungsikan ke status pegawai pemerintah Republik Indonesia. Bagi para pemain wayang wong yang statusnya sebagai pegawai harian tetap dipertahankan dalam status yang sama. Meskipun dalam kedudukannya sebagaipegawai harian dalam lingkungan pemerintah daerah, namun gelar-gelar kehormatan yang diberikan keraton kepada para pemain tetap dipakai sebagai suatu kebanggaan. Dualism keanggotaan dalam status kepegawaian sebagai para pemain wayang wong memang unik. Di satu pihak, kedudukannya sebagai abdi dalem keraton lebih merupakan suatu prestise sosial yang menunjukkan bahwa mereka adalah pemain kelas atas, di lain pihak sebagai pemain harian daerah lebih bersifat ekonomis dan utama. Gelar-gelar kehormatan yang dimaksud adalah mereka yang telah menunjukkan prestasi puncak dalam bidang tertentu yaitu bagi penari putra diberi gelar tambahan nama “wibaksa” seperti Wugu Harjawibaksa, bagi penari putrid diberi tambahan nama “rini” misalnya Sitarini, dan bagi pengawit diberi tambahan nama “rawita” misalnya Tjaptarawita.
Di bawah pememimpinan Tohiran perkembnagan Wayang Wong Sriwedari tampaknya mengalami kemajuan yang berarti. Tohiran mulai dipercayai sebagai pimpinan Wayang Wong Sriwedari sejak tahun 1954 dan berakhir tahun 1967. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah upaya regenerai pemain, perubahan sistem produksi, dan sistem pemasaran. Upaya regenerasi dimaksudkan untuk menyiapkan pemain-pemain muda yang aberbakat agar pada ssatnya nanti sanggup menerima tanggung jawab yang diberikan oleh generasi tua. Hal ini merupakan langkah yang stategis dan konstruktif. Oleh karena itu dalam mempersipakna tenaga-tenaga yang siap pakai dan terampil, maka diselenggarakan pendidikan melalui pelatihan-pelatihan tari, vocal untuk antawecana dan tembang, secara karawitan. Latihan diselnggarakan tiap hari Senin dan Kamis pada siang hari.
Adapun perubahan lainnya adalah lamanya pertunjukan yaitu dari 5-6 jam menjadi 3-4 jam. Perubahan waktu ini secara prinsip tidak mengurangi struktur pathet, tetapi hanya mengurangi beberapa bagian adegan atau antawecana yang tidak penting. Perubahan waktu ini juga kaitannya dengan pandangan masyarakat terhadap waktu dalam hubungan dengan kesibukan.
Saat wawancara bersama Dalang wayang wong Sriwedari
Dalam kedudukannya sebagai seni pertunjukan komersial, selera penonton merupakan pertimbangan utama tanpa harus mengurangi dan mengorbankan kualitas artistik. Ini berarti bahwa setiap saat dalam menjaga hubungan yang baik antara produsen dan konsumen, para anak wayang dituntut untuk tampil secara apik, inovatif, gemerlapan, dan spektakuler. Status Wyang Orang Sriwedari adalah seni komersial, artinya bahwa keberadaan Wyang Orang Sriwedari tidak semata-mata tergantung dari hasil penjualan tiket, tetai mendapatkan subsidi pemerintah kota. Adanya dukungan subsidi pemerintah inilah yang memungkinkan Wayang Wong Sriwedari tetap lestari.
Soebadya sebagai Kepala Dinas Pariwisata Surakarta pada saat itu memilih para seniman Wayang Wong Sriwedari menjadi tiga golongan yaitu:
a)      Pemain Purna, yaitu criteria yang diberikan kepada mereka yang telah menunjukkan kreadibilitas sebagai empu wayang wong, baik dalam bidang tari maupun karawitan.
b)      Pemain Madya, yaitu kriteria yang diberikan kepada para pemain yang kemampuan seninya belum mencapai tingkat lanjut atau empu, sehingga mereka belum pantas memberikan pelajaran atau duduk sebagai pelatih.
c)      Pemain Muda, yiatu kriteria yang diberikan kepada para pemain yang masih taraf awal belajar menjadi pemain wayang wong, sehingga masih harus dibimbing untuk menjadi pemain yang berkualitas.
Dalam usaha meningkatkan kesejahteraan para pemain, pihak pemerintah daerah telah mengangkat sebagian para pemain sbagai pegawai negeri, kecuali bagi mereka yang belum atau tidak dapt diangkat sebagai pegawai negeri karena tidak memiliki ijazah, karena pertimbangan politik, dan usiannya telah melampaui batas umur untuk dapat diangkat sebgai pegawai negeri. Dari sekitar78 personil peman Wayang Wong Sriwedari, 41 orang idnataranya berstatus pegawai negeri sejak tahun 1986, dan sisanya adalah pegawai honorer daerah. Perubahn status kepegawaian ini dimaksudkan untuk mengantisipasi geajala kemunduran Wayang Wong Sriwedari yang diatandai adanya krisis penonton, sehingga diharapkan para anak wayang dan keberadaan Wayang Wong Sriwedari tetap dapat dipertahankan dari gejala kepunahan.
(Hersapandi, 1999: 98-140)
Dalam kasus perjalanan sejarah wayang wong ini terdapat bebrapa catatan beberapa faktor dan ‘kecelakaan-kecelakaan kecil sejarah’ yang berperan di dalamnya yang dapat menghidupkan atau justru mematikan wayang orang. Faktor-fator yang mempengaruhinya adalah:
1.      Dalam bidang ekonomi
Krisis yang menimpa kekuasaan Kadipaten Mangkunegaran sebelum pada mas mangkunegaran VI telah berdampak positif secara tidak terduga bagi mobilitas kesenian wayng wong ini.
Akibat adnya krisis yang menyebabkan menipisnya keuangan kadipaten Mangkunegaran VI mengambil kebijakan untuk menghentikan aktivitas pentas wayang wong yang biasanya rutin dilakukan di idtana kadipaten ini.
Para awak panggung wayang wong, yang semacam terkena PHK ini, akhirnya justru mengembangkan potensinya di luar tembok keraton, menyebabkan seni panggung wayang wong menjadi tumbuh, berkembang dan popular di masyarakat luas.
Konteks ini diperkuat oleh msuknya pemodal dari kalangan Cina. Cina telah mencoba memanfaatkan nilai komersial dari pentas panggung wayang wong ni demi kepentingan bisnis mereke. Wayang wong sebagai aspek kultural memang boleh jadi mengalami kecelakaan eksistensial, dikarenakan posisinya yang sebelum itu sebagai seni elit terdegradasikan kepada seni komersial. Namun dibalik degradasi secara eksistensial ini terselip hikmah dalam hal cepatnya mobilitas kuantitatif dari seni panggung wayang wong tersebut.
2.      Dalam bidang politik
Dalam bidang ini, ditemukan adanya fenomena yang menggelitik pada kasus keterlibatan pihak Kasunanan bekerja sama dengan Cina menyelenggarakan pentas panggung wayang wong. Ini dikarenakan pada awal mulanya pihak kasunanan melakukan hal semacam lebih disebabkan kenaifan cara pikir polotisnya yang ingin menyindir pihak kadipaten.
3.      Dalam bidang sosial
Keterlibatan Cina dalam seni wayang wong ini agaknya tidak terlepas dari konteks persaingan kelas sosial di Jawa yang meliputi trikotomi sosial masyarakat abangan, priyayi dan santri.

Sebagai kaum santri, merka terkadang mengambil jarak terhadap kelas sosial lainnya. Mereka menilai bahwa pola-pola kehidupan (termasuk bidang kesenian) milik kaum abnagan tau pun priyayi yang dipenuhi hal-hal berbau bid’ah dan khufarat. Keengganan kaum santri berdekatan dengan seni abangan ini dimanfaatkan oleh orang-orang Cina untuk memantapkan kedudukan (sosial, ekonomi, politik). Mereka mengambil hati sekaligus kaum priyayi dan abangan dengan tetap tidak meninggalkan capaian-capaian ekonomi yang memang mereka utamakan.

                  MASA KEJAYAAN DAN KEMUNDURAN WAYANG WONG SRIWEDARI
                               I.            Masa Kejayaan
Periode tahun 1945 sampai dengan tahun 1965 merupakan generasi kedua dari Wayang Wong Sriwedari. Periode ini juga dinyatkaan sebagai masa kejayaan Wayang wong Sriwedari. Dimana seni pertunjukan tradisional ini memang banyak menyerap banyak penonton, tidak saja masyarkaat Jawa, tetapi juga amat disukai oleh: Bangsa Tionghoa dan bangsa-bangsa lainnya yang tinggal di dalam dan di luar negeri.
Waktu itu kwualitas penyajian Wayang wong Sriwedari terbilang mempunyai kepopularitasan yang dapat menggema ke pelosok daerah. Hal tersebut dikarenakan oleh dedikasi dari anak Wayang yang demikian tingginya. Selain dari pada itu kedisiplinan yang diterapkan amat ketat, pertunjukan yang dijadwalkan tiap malam selalu memuaskan penggemarnya. Selain dari pada itu, latihan selalu dilakukan diluar jam-jam pertunjukan, secara rutin pada setiap hari Selasa dan Kamis pada siang hari.
Kesadaran, dedikasi dan kedisiplinan ini juga dituturkan oleh Martoyo yang pada saat dilaksanakan penulisan lapangan beberapa waktu yang lalu, beliau menjabat sebagai sutradar utama pada wayangwong Sriwedari. Waktu itu beliau menandaskan, bahwa keberhasilan sebuah pegelaran amat ditentukan oleh kehadiran anak-anak wayangnya. Karena untuk memerankan tokoh-tokoh yang penting amat ditentukan oleh kemampuan pemaina, maka tidak akan dapat disajikan suatu pertunjukan yang berkwalitasjika pemain yang punya kemampuan baik tidak hadir dan terpaksa diganti dengan pemain seadanya (Wawancara Martoyo, wawancara 6 Oktober 1985 di Gedung Wayang Wong Sriwedari-Surakarta).
Ibu Sri saat berias sebelum pentas
Sebenarnya ditahun-tahun pertama dari periode perkembangan (kurun waktu 1945 hingga 1965) ini merupakan tahun peremajaan untuk angkatan dibawah R. M. Wignyahambeksa. Sungguhpun Taman Hiburan Sriwedari sudah dikelola pihak PEMDA setempat, tapi pihak kraton masih juga memperhatikan, terutama terhadap mutu dari seni tari khususnya dan Wayang wong pada umumnya. Hal ini dibuktikan masih juga diperkenankan anak-anak Wayang yang punya kwalitasdan bakat seni untuk menambah pengetahuan seninya dalam kraton Kasunanan Surakarta, dan ada juga yang diangkat jadi abdi dalem (pegawai kraton). Kemudian diberi nama-nama yang menunjukan bahwa mereka ahli seni tari, yaitu adanya nama “Wibaksa” (Surono, wawancara 12 Oktober 1985 di Gedung Wayang Wong Sriwedari-Surakarta).
Bukti-bukti keberhasilan Wayang wong Sriwedari adalah makin tersohornya nama Sriwedari, baik di dalam dan di luar negeri. Rusman sebagai tokoh Gatutkaca yang terkenal sempat melawat ke berbagai negara seperti: Philipina, Hongkong, Singapura, Honolulu dan Tokyo (Jepang) di tahun 1951. kemudian di tahun 1952 melawat lagi ke Pakistan Timur pada sebuah Festival, dilanjutkan melawat lagi di beberapa negeri bagian di Amerika pada tahun 1954. Tentunya Rusman tidak seorang diri tapi juga bersama beberapa orang yang turut serta membawa nama Wayang wong Sriwedari ( Padmowibaksa, wawancara 6 Oktober 1986 di Gedung Wayang Wong Sriwedari-Surakarta,).
                            II.            Masa Kemunduran
Masa- masa sulit pemasaran Wayang Wong sudah terasa sejak akhir tahun 70-an. Keadaan ini disebabkan oleh beberapa aspek, seperti: keamanan kota, terlebih di waktu malam hari. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat enggan untuk keluar rumah diwaktu malam hari. Aspek keamanan ini dilatar belakangi oleh sulitnya perekonomian masyarakat, sulitnya mencari kerja, dan meningkatnya harga-harga bahan pokok. Dari pada itu tidak bisa jadi alasan, kalau mutu dari Wayang Wong Sriwedari merosot karenanya.
Kelesuan ini semakin meningkat ketika perfilman Indonesia mulai berkembang. Hiburan ini merupakan saingan dari seni petunjukan tradisional, khususnya Wayang Wong. Sungguhpun harga karcir bioskop hampir lima kali lipat dari harga pertunjukan Wayang Wong. Selain itu makin meluasnya/sempurnanya jaringan massmedia komunikasi elektronik, dalam hal ini televisi merupakan salah satu faktor penyebab enggannya masyarakat untuk mencari hiburan di luar rumah. Sungguhpun aspek-aspek di atas belum diteliti secara intensif.
Seperti yang telah diutarakan di atas, kesurutan atau berkurangnya peminat Wayang Wong bukan semata-mata disebabkan oleh menurunnya kwalitaspertunjukan.
Karena di tahun-tahun terakhir dari generasi, pendukung Wayang Wong Sriwedari merupakan orang-orang yang mempunyai kwalitasbermain amat bagus, dan Wayang wong Sriwedari pun merupakan perkumpulan Wayang Wong yang punya kwalitasmeyakinkan, sehingga banyak menerima tanda-tanda penghargaan dari:
·         Penghargaan dari Kota Madya Magelang.
·         Penghargaan dari Kota Madya Bandung.
·         Penghargaan dari Korp Komando Angkatan Laut Jonify.
·         Penghargaan dari pemerintah daerah Klaten.
·         Penghargaan dari Komando Resimen 0734 Surakarta ( Bimo Sudjijo, wawancara 17 Nopember. 1986, di Sriwedari – Surakarta).
Penghargaan yang diterima oleh grup Wayang Wong Sriwewdari masih banyak lagi. Kenyataan tersebut menunjukan, bahwa kinerja seniman wayang orang benar-benar propesional. Namun pada perkembangan selanjutnya, terlebih pada akhir tahun 70-an dan pada awal tahun 80-an, merupakan tahun-tahun sulit bagi seni petunjukan etnik Jawa tersebut, terlebih seni pertunjukan wayang wong sampai-sampai sebuah grup wayang wong yang bermukim di Taman Hiburan Rakyat (THR)– Yogyakarta, yaitu Wayang Wong Wiromo Budaya gulung tikar dan para pemainnya ditransmigrasikan ke Sumatra. Hal ini merupakan suatu pertanda, bahwa seni pertunjukan etnik di Indonesia perlu mendapat perhatian dari semua pihak, seniman, masyarakat pencinta seni, pemerintah dan para budayawan. Perhatian yang diharapkan tidak hanya berupa “uang”, tetapi sumbangan pemikiran strategis, dan kebijakan yang memihak pada masa depan seni pertunjukan sebagai asset budaya bangsa.
Lebih lanjut permasalahan tersebut di atas tidak hanya ditujukan pada seni pertunjukan wayang wong yang ada di luar daerah Surakarta, tapi tak luput juga menimpa Wayang Wong Sriwedari yang beroperasi dalam bidang komersil puluhan tahun. Gejala-gejala penurunan kwualitas, yang disebabkan oleh tidak stabilnya pembagian kesejahteraan hidup, yang mengakibatkan menurunnya dedikasi para anak wayang, tentunya hal ini mempengaruhi kelancaran pertunjukan, serta kwalitas penampilan wayang wong itu sendiri. Stabilitas pembagian kesejahtraan hidup yang dimaksud adalah harapan para pemain untuk dapat hidup layak. Hal ini tampak sekali perbedaan yang mencolok, yaitu antara para pemain senior yang notabene sudah diangkat sebagai pegawai negeri dan para pemain-pemain muda yang mengharapkan dapat dipekerjakan dan diangkat sebagai pegawai negeri. Hal ini tampaknya terasa berat bagai pemerintah daerah Kota Surakarta, pasalnya. Para pemain senior, pada umumnya mereka diangkat sebagai pegawai negeri hanya menempati golongan 1, tetapi para pemain muda pada umumnya mereka adalah lulusan SMKI (setara SMA) dan para sarjana STSI (setara S-1). Hal ini menjadi masalah yang bersifat internal, setidaknya di kemudian hari menjadi “bom waktu” yang semakin mempercepat Wayang Wong Sriwedari gulung tikar, atau dipaksa ditutup oleh pemerintah dengan alasan usaha jasa pertunjukan komersial tidak produktif. Sehingga pada akhirnya pemerintah memutuskan untuk memanfaatkan gedung “Sriwedari” untuk Bend dan musik ndang-dut, selamat tinggal wayang wong.
Bersama Pak Sulistiyanto, sutradara wayang wong Sriwedari
Beberapa faktor yang dapat diidentifikasikan sebagai penyebab kemunduran Wayang Orang Sri Wedari lebih bersumber dari dalam (internal problems):
a)      Pertama, tidak munculnya primadona atau bintang panggung yang diperlukan bagi sebuah pertunjukan wayang orang Sri Wedari.
b)      Kedua, kemasan pertunjukan wayang orang yang monoton dan tidak dinamis. Hal ini dapat pula disebabkan dengan kondisi dan keterbatasan gedung tempat pertunjukanWayang Orang Sri Wedari digelar.
c)      Ketiga, kekurangharmosinan hubungan antara pemain generasi yang lebih tua dengan yang muda. Kekurangharmonisan ini bisa jadi dipicu oleh kuatnya rasa senioritas maupun perbedaan perspektif dalam mengemas sebuah pertunjukan. Padahal hubungan yang harmonis di antara para pemain menjadi modal utama menghasilkan bentuk pertunjukkan yang baik.
d)     Keempat, etos kerja para pemain yang kurang baik juga menjadi salah satu sebab sulitnya meningkatkan kualitas pertunjukan. Bahkan pola lama yang masih menggunakan pembagian kasting pemain dan balungan lakon yang akan dipergelarkan dilakukan sesaat sebelum pertunjukan, juga menjadi penyebab sehingga pemain tidak dapat mempersiapkan perannya lebih baik, termasuk interaksi di antara pemain kurang dapat kompak, karena tidak dilakukan latihan sebelumnya.
e)      Kelima, keterbatasan infrastruktur pendukung. Gedung pertunjukan yang kurang representatif, kursi yang kurang nyaman, dan berbagai perlengkapan panggung yang kurang memadai.
f)       Keenam, manejemen belum ditangani secara profesional dan kurang paham terhadap tantangan zaman yang semakin menuntut persaingan yang ketat. Selain itu, perkembangan teknologi terutama televisi menjadi sebab utama kemundurun wayang orang.
(http://www.stpsahidsolo.ac.id/html/index.php?id=artikel&kode=19)

      HASIL PENELITIAN
Wayang Wong Sriwedar merupakan seni pertunjukan yang lahir dari kelas elit Mangkunegaran. Pada awalnya wayang wong hanya dinikmati oleh raja-raja dan keluarga kalangan istana Mangkunegaran dan para pemainnya adalah para abdi dalem istana. Kemudian setelah istana Mangkunegaran mengalami krisis ekonomi, para pemain wayang wong mendirikan kelompok-kelompok wayang wong.
Sekitar tahun 1910 wayang wong Sriwedari mulai pentas di Kebon Rojo dibawah pemerintahan Paku Buwana X. Menurut Pak Sulistiyanto, saat ini para seniman wayang wong Sriwedari adalah PNS, dan kebanyakan dari mereka masih merupakan keturunan abd dalem yang saat dulu juga menjadi seniman wayang wong Sriwedari. Menurutnya Wayang Wong Sriwedari saat ini masih tetap eksis karena pemerintah memiliki perhatian yag cukup besar terhadap kesenian tradisonal Surakarta, ditambah lagi di masa globalisasi ini segala informasi mudah sekali untuk diakses. Hal ini sedikit banyak berpengaruh pada pengenalan wayang wong Sriwedari di luar kota Surakarta hingga mancanegara. Sehingga tidak salah apabila banyak sekali turis mancanegara yang tertarik melihat pertunjukan wayang wong Sriwedari ini, seperti halnya Flore yang berasal dari Switzerland yang menyatakan:
“I like watching this opera, it’s very nice even I don’t understand in language they speak, but I can understand  the mean of the story from the expression and movement from that artists. The part I like the most is a part when there’re three guys (Punakawan) come to the stage. They are so funny and lot of jokes”.
Ibu Sri Lestari mengaku senang sekali bisa bergabung dengan Wayang Wong Sriwedari.
“Saya itu senang mbak jadi pemain wayang wong, karena saya dulu juga sekolah di jurusan seni tari. Jadi ya kalau buat saya ada penonton atau tidak ada penonton itu sama saja. Ada ga ada penonton ya hurus tetap pentas. Yang penting hati senang, soalnya kalau pentas itu saya selalu merasa senang tidak peduli berapa jumlah penonton yang datang”.
Pak Sulistiyanto pun sama halnya dengan Ibu Sri Lestari. Beliaun mengatakan akan terus mendedikasikan hidupnya untuk budaya tradisional khususnya wayang wong. Menurutnya, untuk menyebarkan rasa cinta budaya itu harus dimulai dari diri sendiri.
“Bagianku adalah budaya. Saya dilahirkan di kota budaya, jadi sampai mati pun buday aakan terus saya pegang” 

THE LADY: Wanita di Balik Demokrasi Myanmar

THE LADY: Wanita dibalik demokrasi Myanmar
Judul Film    : the Lady
Sutradara     : Luc Besson
Pemain         : Michelle Yeoh,  David Thewlis, Jonathan Woodhouse
Produksi       : Europa Corp
Durasi           : 135 menit
Genre           : Drama Biografi


The Lady merupakan sebuah film garapan sutradara Luc Besson yang diangkat dari kisah nyata Aung San Suu Kyi, seorang pejuang wanita Myanmar yang bersikeras menegakkan demokrasi di negerinya. Cerita dalam film the Lady ini diawali dengan kisah masa kecil Aung San Suu Kyi sebelum sang ayah, Jenderal Aung San, ditembak mati bersama beberapa pimpinan Myanmar dalam suatu rapat kabinet pada tahun 1947. Insiden itu terjadi hanya beberapa saat setelah Inggris memberikan kemerdekaan pada Myanmar.
Kemudian cerita berlanjut pada kehidupan Suu Kyi di Oxford bersama suaminya yang berkewarganegaraan Inggris, Dr. Michael Aris, yang merupakan seorang peneliti kebudayaan Tibet dan Himalaya, dan kedua anaknya Alexander dan Kim. Namun karena Suu Kyi mendapat telepon yang mengatakan bahwa ibunya di Myanmar sedang sakit, maka ia memutuskan pulang ke Myanmar  selama beberapa minggu untuk mengurus ibunya dan terpaksa meninggalkan suami beserta kedua anaknya di Oxford. Setibanya di Myanmar, Suu Kyi merasa sangat prihatin dengan konflik yang terjadi di Myanmar karena kejamnya rezim milliter pada saat itu. Terlebih saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri seorang tentara militer dengan mudahnya melepaskan senapan pada wrga sipil. Hal inilah yang kemudian membuat semangat Suu Kyi bangkit untuk menegakkan demokrasi di Myanmar.
Aung San Suu Kyi memutuskan untuk bergabung dalam sebuah partai oposisi Myanmar, Liga Nasional Demokrasi, sekaligus ia sebagai pemimpin partainya. Keputusannya ini sangat disambut baik oleh masyarakat Myanmar karena masyarakat Myanmar percaya bahwa Aung San Suu Kyi yang merupakan anak dari Aung San mampu menjadi pemimpin bangsa Myanmar ditengah konflik yang dialami Myanmar pada msa itu, dan Suu Kyi juga dipercaya akan membawa pengaruh baik pada Myanmar seperti yang dilakukan oleh ayahnya. Dalam film berdurasi 135 menit ini digambarkan secara terperinci bagaimana perjuangan Suu Kyi dalam menciptakan demokrasi di Myanmar, dari mulai pidato pertamanya  yang mendapat sambutan dari ribuan pendukung, hingga kampanye yang ia lakukan hingga ke desa-desa dan suku-suku di Myanmar. Suu Kyi tidak sendirian, karena dia memiliki banyak pendukung yang setia, terlebih suaminya, Michael Aris, yang rela mengorbankan waktunya dengan Suu Kyi demi mendukung Suu Kyi. Tidak hanya berkorban waktu, Michael Aris juga berperan dalam kampanye Suu Kyi karena ia lah yang membuat dan memperbanyak pamflet kampanye partai Suu Kyi. Bahkan anak-anak Suu Kyi pun turut mendukung Suu Kyi dalam menciptakan demokrasi di Myanmar. Kedua anak dan suaminya sengaja menyusun dokumen yang berisikan aksi-aksi yang dilakukan Suu Kyi dalam menciptakan demokrasi Myanmar di tengah konflik hingga akhirnya Suu Kyi mendapat hadiah Nobel Perdamaian.
Usaha Aung San Suu Kyi dalam menciptakan demokrasi di Myanmar ternyata mendapat perlawanan yang cukup besar dari junta militer yang dipimpin oleh seorang diktator, Jenderal Tan Shwe. Jenderal Tan Shwe melakukan perlawanan karena dia khawatir bahwa kekuasaan Myanmar kelak akan jatuh ke tangan Suu Kyi. Bentuk perlawanan yang diberikan Tan Shwe berupa larangan berkampanye hingga suatu ketika Aung San Suu Kyi mengalami nasib yang serupa seperti ayahnya yaitu dihadapkan dengan senapan dikeningnya. Tokoh Aung San Suu Kyi yang diperankan oleh Michelle Yeoh dalam film the Lady ini memang memiliki sifat pantang menyerah dan keras kepala, dan hal inilah yang membuat tentara militer pada saat itu merasa tidak tega untuk menembak mati Suu Kyi.
Kegigihan yang dimiliki Suu Kyi ternyata bukanlah hal yang sia-sia, terbukti dalam kemenangannya dalam Pemilu Myanmar pada tahun 1990. Namun hasil dari pemilu itu tidak pernah diakui oleh junta militer sehingga menempatkan Suu Kyi sebagai tahanan rumah selama 15 tahun. Selama 15 tahun Suu Kyi tidak diperbolehkan keluar rumah, bahkan untuk menemui pendukungnya pun dia hanya diperbolehkan melihatnya dengan memanjat pagar rumah. Keprihatinannya bertambah ketika dia dihadapkan pada kebebasan yang mengharuskan ia memilih antar keluarga ataukah negara. Pada saat itu Suu Kyi merasa sangat bingung dan akhirnya dia memilih untuk bertahan di Myanmar. Atas pilihannya tersebut, Suu Kyi tidak dapat bertemu dengan keluarganya. Bahkan saat suaminya meninggal karena kanker di rumah sakit di Oxford pun Suu Kyi tidak dapat hadir.
Film The Lady dibuat dalam durasi yang lebih panjang dari kebanyak film. Tapi adegan demi adegan yang disuguhkan Luc Besson selama 135 menit sama sekali tidak membosankan. Tidak ada scene yang tak berarti atau hanya membuang waktu saja. Bahkan beberapa babak membuat penonton semakin penasaran akan riwayat Suu Kyi. Terlebih teknik pengembilan gambar dari film yang rilis pada September 2011 di Toronto Film Festival ini yang dikemas secara apik dan penuh dengan makna yang tersirat yang membuat penonton terbawa dalam suasana perjuangan demokrasi Myanmar.


Rabu, 04 Juli 2012

Cerita Lagu Over The Rainbow

Somewhere over the rainbow, way up high 
There’s a land that I heard of once in a lullaby.
Somewhere over the rainbow, skies are blue 
And the dreams that you dare to dream really do come true. 
Someday I’ll wish upon a star, 
And wake up where the clouds are far behind me. 
Where troubles melt like lemon drops 
Away above the chimney tops 
That’s where you’ll find me. 
Somewhere over the rainbow blue birds fly 
Birds fly over the rainbow why then, oh, why can’t I ?
If happy little bluebirds fly beyond the rainbow
Why, oh why can't I?

'Over the Rainbow' atau dalam Bahasa Indonesianya 'Selama Pelangi'. Ini adalah salah satu lagu favorit gue yang akhirnya bikin gue kepo setengah mampus pengen tau sebenernya apa sih cerita dari lagu ini, dan akhirnya gue tulis artikel ini setelah gue tau apa cerita dibalik lagu ini. Oh ya pernah denger lagu 'Over the Rainbow'? Mungkin kebanyakan dari kalian pernah denger lagu klasik yang melegenda ini, tapi pernah tau ga sih sebenernya siapa penyanyi asli dari lagu yang sekarang ini sudah rilis dalam berbagai versi ini? dan tau ga apa cerita dan arti dari lagu ini? Oke kali ini gue bakal bahas sedikit banyak tentang 'Over the Rainbow' dan cerita yang melengkapinya. Let's check this out ;) 
http://resensibuku.com/wp-content/uploads/2010/11/oz.jpg 
 Lagu 'Over the Rainbow' adalah sebuah lagu dalam film klasik The Wizard of Oz(1939) yang ceritanya diambil dari sebuah buku cerita dongeng anak-anak karangan L. Frank Baum ini dinyanyikan oleh gadis kecil, Judy Graland, yang juga seorang pemeran utama dari film The Wizard of Oz. 
Film ini menceritakan tentang petualangan seorang gadis yang bernama Dorothy(Judy Graland) yang terbawa angin puting beliung bersama rumah dan anjingnya yang kemudian terdampar di Negeri Oz, sebuah negeri indah yang letaknya tidak ada dalam peta, yang membuatnya merasa bahagia karena menurutnya belum pernah dia menemukan tempat seindah seperti Negeri Oz ini. Kedatangannya di Negeri Oz justru disambut sangat baik, dan dia dianggap pahlawan karena rumah yang terbawa angin puting beliung bersama Dorothy mendarat persis diatas seorang penyihir jahat. Saat Dorothy berkeinginan untuk pulang ke tempat tinggalnya, Kansas, seorang peri baik memberitahunya untuk mencari The Wizard of Oz, seorang penyihir serba tau di Negeri Oz yang tinggal di Kota Zambrud, untuk menanyakan bagaimana cara agar dia bisa pulang. Dalam perjalanannya mencari The Wizard of Oz itu, Dorothy bertemu dengan Scarecrow(orang-orangan sawah) yang tidak dapat berpikir dan menginginkan otak, lalu Tin  Woodman(manusia kaleng) yang berprofesi sebagai penebang kayu, yang tidak berperasaan dan menginginkan hati, serta The Lion, seekor Singa penakut yang menginginkan keberanian. Bersama-sama mereka berjuang  mencapai Kota Zamrud demi mewujudkan impiannya masing-masing.
Judy in Wizard of Oz
Nah lagu 'Over the Rainbow' yang dinyanyikan Judy Graland dalam film The Wizard of Oz yang berlatar di antara tumpukan jerami, dan ditemani anjing Pamannya ini menceritakan sebuah impian polos seorang gadis kecil untuk pergi ke suatu tempat dibalik pelangi yang menurutnya sangat indah. Dia berharap suatu hari nanti dia pergi kesana dan melupakan segala beban hidupnya. Dan ternyata apa yang menjadi impiannya ini nyata, dia terbawa ke suatu tempat yang sangat indah karena angin puting beliung yang menerpa rumahnya seperti yang udah gue paparkan tadi. Ya kurang lebih begitulah ceritanya hehe
Pesan terbesar yang bisa diambil dari lagu 'Over the Rainbow' atau pun film The Wizard of Oz ini adalah the power of dream atau kekuatan mimpi. Jadi kita jangan pernah menyepelekan arti sebuah impian/harapan/cita-cita sekecil apa pun itu. Karena berawal dari mimpi dan harapan lah semuanya ada. Mungkin sebagian orang tidak percaya seberapa besar kekuatan sebuah mimpi atau pun harapan. Tapi percayalah, sebuah mimpi dapat mengantarkanmu kemanapun tempat yang ingin kamu tuju. Karena dengan adanya mimpi itu lah kamu akan berusaha untuk meraihnya. Bermimpilah setinggi-tingginya dan capailah. Kalo kata orang bijak sih "Dream it, and make it happen" :D
Oh iya, ada cerita unik loh dibalik lagu 'Over the Rainbow' di film The Wizard of Oz. Jadi, tandinya lagu ini tuh ga jadi dimasukkan dalam film dengan alasan musiknya yang bertempo lambat dan ini bertetangan dengan cerita film yang bertempo medium hingga cepat.
Sekarang udah tau kan gimana cerita dan makna dibalik lagu 'Over the Rainbow'. Jadi ga salah dong ya kalo banyak banget artis yang sekarang ini membawakan lagu ini dalam berbagai versi. Secara emang lagu ini bagus banget. Walaupun liriknya simple, tapi makna yang terkandung dibalik lagu ini memang sangat luar biasa. FYI, katanya lagu ini dinobatkan sebagai kid song over the centuries, dan menurut gue ini sangat adil.
Cukup untuk ulasan mengenai lagu 'Over the Rainbow', makasih untuk sudah mau baca, makasih juga untuk blog-blog yang memberi referensi untuk menulis artikel ini ;)